Sumber: http://kepadapuisi.blogspot.com/2013/07/malu-aku-jadi-orangindonesia_295.html
Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia
I
Ketika di
Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku
dapat beasiswa
Sembilan belas lima
enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi
anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam
tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat
merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas,
Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay
kampung asalnya
Kagum dia pada
revolusi Indonesia
Dia mengarang
tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai
tokoh utama
Dan kecil-kecilan
aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi
anak Indonesia
Tom Stone akhirnya
masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D.
dari Rice University
Dia sudah pensiun
perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap
bila aku berdiri
Mengapa sering
benar aku merunduk kini
II
Langit langit
akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak
Berjalan aku di
Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di
Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di
Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak
aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi
baret di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh
birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku,
sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari
tandingan,
Di negeriku anak
lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja
kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi
pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat
tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong
birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar
anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan
anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal,
sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua mereka
bersenang hati,
Di negeriku
penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat
jelas penipuan besar-
besaran tanpa
seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku
khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang
opininya bersilang tak habis dan tak
putus
dilarang-larang,
Di negeriku dibakar
pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal
raksasa,
Di negeriku Udin
dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma
mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara
mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di
dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan
dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku
keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat
ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara
resmi,
Di negeriku rasa
aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu
tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon
banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan
fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola
sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak
pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang
disetujui bersama,
Di negeriku rupanya
sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan
antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma
urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan
kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi
penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada
pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di
Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah,
Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan
terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di
bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak
pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi
terang-terangan,
Di negeriku budi
pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan
sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami
selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak
rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak
Berjalan aku di
Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di
Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di
Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak
aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi
baret di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia.
1998
Puisi di atas
merupakan salah satu isi dari kumpulan puisi karya Taufiq Ismail. Taufiq Ismail lahir di Sumatera Barat pada 25
Juni 1935. Taufiq Ismail dibesarkan dalam keluarga guru dan wartawan. Karena
pengaruh lingkungan sekitarnya, Taufiq Ismail menjadi pribadi sosok yang peka
dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya.
Taufiq Ismail memiliki
banyak karya di antaranya dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Malu (Aku)
Jadi Orang Indonesia. Puisi
merupakan hasil pemikiran seorang pengarang. Setiap pengarang memiliki kekhasan
dan gaya ciri khas masing-masing..
Dalam puisi
tersebut pada bait pertama puisi ini, Penyair menggunakan kalimat, Aku
gembira jadi anak revolusi Indonesia. Maka penyair mengatakan bahwa ia
sangat gembira menjadi anak revolusi Indonesia. Jika dilihat dari kata revolusi
maknanya ialah perubahan ketatanegaraan pada pemerintahan.
Kemudian
dilanjutkan pada bait kedua memiliki makna bahwa Negeriku baru enam tahun terhormat
diakui dunia serta pada sajak Kagum dia pada revolusi manusia. Maka
penyair mengatakan bahwa ketika Indonesia berusia 6 tahun bebas merdeka dari
penjajah. Indonesia menjadi kebangaan pada bangsa lain akan revolusi
pemerintahannya.
Pada
bait ketiga dan keempat, penyair mengatakan bahwa Dadaku busung jadi anak
Indonesia dan pada bait keempat penyair juga mengatakan
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini.
Maksud
dari kutipan sajak tersebut ialah Dada sang penyair merasa busung ketika
disanjung negaranya. Jika dilihat dalam KBBI makna busung adalah gembung,
artinya membulat seperti perut. Kata busung digunakan untuk menyatakan
rasa kebanggaan secara gembung menjadi anak bangsa Indonesia. Namun disisi lain
penyair mengatakan bahwa dahulu ia begitu senang dan bangga dengan Indonesia.
Sekarang ia menjadi merunduk. Kata merunduk artinya kepala menunduk
ke bawah akibat rasa malu.
Pada
Bait selanjutnya penyair memberikan alasannya mengapa ia merunduk, berikut
kutipan sajaknya;
langit-langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Penyair
menyebutkan alasannya ia malu dikarenakan di negara Indonesia sudah tidak
menyanjung akhlak moral yang baik, penuh dengan propaganda. Banyak kejahatan
yang terjadi namun hukum tidak banyak bertegak membela keadilan, hukum lebih
doyong yang artinya miring hampir rubuh berderak-derak. Banyaknya ketidakadilan
yang tidak ditegakkan menjadikan si penyair tersebut ketika berjalan-jalan di
luar negeri, ia menutupi wajahnya karena malu menjadi orang Indonesia.
Kemudian
pada bagian ketiga pada setiap kalimatnya penyair menyebutkan perbandingan
antara bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya yang menjadikan ia malu dengan
bangsanya sendiri. Sedangkan pada bait keempat, penyair menyebutkan kembali
satu bait bagian kedua puisi tersebut untuk menjadi penegasan bahwa ia malu
menjadi orang Indonesia. Berikut kutipan sajaknya,
Di
negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di
negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang
susah dicari tandingan,
Di
negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan
cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di
negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata,
pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung
jas safari,
Di
kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak
sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri,
jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua
mereka bersenang hati,
Di
negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat
jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Setelah
mengkaji makna di dalam puisi tersebut, maka akan mengkaji bahasa yang digunakan.
Dalam
puisi ini, penyair banyak menggunakan gaya bahasa perulangan atau disebut
dengan majas perulangan. Majas perulangan adalah bahasa kiasan yang
penggunaannya bertujuan membentuk kesan imajinatif bagi pembaca atau pendengar
untuk menimbulkan efek tertentu. Penyair menggunakan majas perulangan pada awal
kalimat dan disusun secara berurutan, seperti pada majas anafora. Berikut
kutipan sajaknya.
Langit
langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum
tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan
aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan
aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan
aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di
sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan
kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Adanya
majas anafora pada kutipan sajak tersebut. Pengulangan pada awal kalimat yaitu berjalan
aku di- sebanyak tiga kali. Kemudian
pada bait selanjutnya pengulangan pada bagian ketiga. Berikut kutipan sajaknya.
Di
negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia
nomor satu,
Di
negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang
curang
susah dicari tandingan,
Di
negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan
cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di
negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat
ringan,
senjata,
pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Adanya
majas anafora pada kutipan sajak tersebut. Pengulangan pada awal kalimat yaitu Di
negeriku. Setiap penyair memiliki gaya penulisan dan hal uniknya
masing-masing. Hal unik pada puisi ini ialah penyair secara gamblang
mengkritik keadaan bangsa Indonesia dengan bahasa yang tidak jenuh, tidak kasar
dan mudah dipahami.
Komentar
Posting Komentar