Kritik Sastra pada Kumpulan Cerpen "Tahi Lalat","Sorot Mata Syaila", "Jangan ke Istana, Anakku", "Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue", "Sepatu Jinjit Aryanti" Karya M Shoim Anwar
M. Shoim Anwar
merupakan seorang sastrawan Indonesia yang lahir di desa Sambong Dukuh, Jombang,
Jawa Timur. M Shoim Anwar setelah tamat dari SPG di Jombang tahun 1984, dia
melanjutkan studinya ke IKIP Surabaya/Universitas Negeri Surabaya jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia hingga program S3 dengan predikat
cumlaude. M Shoim Anwar selain seorang sastrawan, ia juga menjabat sebagai
dosen tetap di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya hingga sekarang. M Shoim Anwar
banyak menulis cerpen, novel, esai dan puisi di berbagai media.
Dalam
karya-karyanya cerita pendek seperti: Jangan ke Istana, Anakku (2015), Bambi
dan Perempuan Berselendang Baby Blue (2015), Sepatu Jinjit Aryanti (2017),
Tahi Lalat (2017), Sorot Mata Syaila (2018), M Shoim Anwar dalam
kumpulan cerpen ini mengemukakan kritik yang mengangkat kritik sosial dan
politik kekuasaan atau dengan kata lain lebih ke arah realisitas sosial dalam
masyarakat.
Cerpen Jangan
ke Istana, Anakku (2015) menceritakan
seorang ayah yang menjadi penjaga di Istana dan terikat oleh Istana. Ia begitu
merindukan anak gadisnya dan istrinya. Istrinya telah hilang dibawa ke Istana
untuk dijadikan penari istana lalu menjadi tumbal saat malam Rabu Kliwon. Ia
tidak ingin anak gadisnya bernasib sama seperti ibunya. Sehingga ia menitipkan
anaknya kepada ponakannya agar jauh dari Istana. Di dalam hati ayahnya ia ingin
membangun gubuk yang senyaman istana namun bukan Istana penguasa yang kejam.
Mimpi ayah tersebut menjadi sirna ketika anak gadisnya dibawa oleh prajurit
utuk menjadi penari istana dan tumbal pada malam Rabu Kliwon. Ayah tersebut
menjadi sedih.
Cerpen Bambi
dan Perempuan Berselendang Baby Blue (2015) menceritakan kecurangan dalam kejaksaan pengadilan. Ada
seorang laki-laki berbadan gendut yang bernama Bambi. Ia adalah seorang jaksa.
Saat itu Bambi berdansa dengan wanita muda yang bernama Miske. Saat itu Anik
ingin menemui Bambi untuk meminta keadilan karena Anik memberikan uang kepada
Bambi untuk dimenangkan sebuah kasus peradilannya. Namun Bambi tidak
memenangkannya. Anik kesal dan ingin melaporkan Bambi atas tindakan menerima
suap. Anik bertemu dengan seorang wanita yang bernama Devira. Devira
menceritakan sifat Bambi itu yang akan memenangkan orang yang lebih banyak
pemberiannya.
Cerpen Sepatu
Jinjit Aryanti (2017) menceritakan Aryanti seorang caddy di lapangan golf.
Aryanti mendengar kabar berita mengenai kasus pembunuhan . Aryanti sedang
bersembunyi bersama seorang pria yang ditugaskan untuk menjaganya. Aryanti
dengan sepatu merah jinjitnya bersembunyi di hotel. Aryanti dan Pria tersebut
kemudian dilempar ke tempat asing lagi. Mereka berdua menjadi pasrah menunggu
akan nasib dibunuh.
Cerpen Tahi
Lalat (2017) menceritakan penyalahgunaan kekuasaan. Pak Lurah menggunakan
cara lirik untuk kepentingan pribadinya. Saat ia menjadi calon kandidat ia
menebar janji-janji palsu. Para penguasa yang semena-mena kepada warganya, yang
seharusnya sebagai pelayan melayani kebutuhan dan aspirasi warganya. Sehingga
saat ia mau mencalonkan kembali, rakyatnya berpikir dua kali mengingat
bagaimana kinerja pak Lurah selama ini.
Cerpen Sorot
Mata Syaila (2018) menceritakan seorang Matalir yang kabur ke luar negeri karena
sedang dicari oleh negaranya. Karena perbuatan kecurangan yang dilakukan di
negaranya, kemudian bertemu wanita yang bernama Syaila. Pertemuan singkat ini bersama
Syaila membawanya pada sebuah bayangan yang menunjukkan pada istri dan
anak-anaknya yang tersiksa digantung karena kesalahan Matalir sendiri.
Kritik sosial
dalam karya sastra merupakan salah satu alat yang dapat menentukan sesuatu yang
benar dan salah jika merujuk pada aspek nilai moral dalam masyarakat. Kritik
sosial sendiri dalam karya sastra dianggap menjadi solusi yang baik dalam
menentukan perkembangan suatu masyarakat. Karya sastra tidak hanya imajinatif
saja namun dapat memaparkan pengalaman-pengalaman masyarakat pada saat masa itu
juga. Pada kumpulan cerpen tersebut berisi permasalahan sosial di dalamnya. Seperti:
kritikan kepada pemerintah mengenai adanya ketidakadilan para penguasa, para
petinggi dan pemangku jabatan yang berlaku semena-mena pada rakyat kecil.
Kritikan ini mengenai pemangku jabatan atau kekuasaan yang melakukan pelanggaran
HAM, pengancaman, dan pemaksaan kehendak.
Kritikan terhadap
pemerintah yang memiliki kekuasaan. Dari saat mereka menjadi calon kandidat
jabatan. Mereka memberikan janji-janji manis kemudian melanggar sendiri
ucapannya. Banyak dari rakyatnya yang kecewa dengan obral janji para penguasa
saat menjadi kandidat. Seperti pada contoh cerpen Tahi Lalat. Pada
cerpen tersebut, seorang pak Lurah membeli tanah warganya untukdijadikan lahan
perumahan. Kemudian pak Lurah mengobral janji-janji manis kepada warganya
dengan membeli tanah dengan mahal. Warganya banyak yang membicarakan tahi lalat
di dada kiri istri pak Lurah. Kritikan pengarang terhadap kehidupan sosial
masyarakatnya saat ada seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi lurah.
Mereka akan menelusuri bibit bobot bebet calon tersebut sampai kepada aib yang
ada pada tubuhnya.
Sering terjadi juga pada kehidupan bermasyarakat yang tidak berduit
dan tidak memiliki kewenangan hak akan kalah dengan mereka yang berduit. Mereka
bisa membeli hak dan mendapat informasi rahasia ataupun rencana pemerintah
dengan cara berduit membeli apa saja yang ia mau, seperti pada cerpen Sorot
Mata Syaila. Digambarkan bahwa seorang tokoh aku (Matalir) kabur ke luar
negeri untuk menghindari hukumannya di Indonesia. Hal ini pengarang mencoba
mengkritik seorang tokoh politik yang mengalami kejadian serupa seperti
cerpennya. Dia adalah Setya Novanto
seorang ketua umum Partai Golkar dan Ketua DPR pada tahun 2017. Sebuah
kritik sindiran dan kejadian yang dialami tokoh tersebut dituangkan dalam
bentuk cerita ini yang menggelitik. Seperti pada kutipan berikut:
Nanti, ketika
berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat
informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di
kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak
imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita
ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya
punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung
kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk
di sel.
Bagiku, pergi melakukan
ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses
secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air
menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel
posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap
orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di
rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik
juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara yang
kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai
permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah
kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan
biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia
melindungi tuannya.
Pada kutipan
tersebut terlihat jelas bahwa keadilan dalam penegakan hukuman masih bisa
dibeli. Kondisi pemerintahan dalam menegak keadilan masih belum disiplin.
Pengarang mencoba mengingatkan kembali bagaimana kondisi hukum keadilan
terhadap bangsa Indonesia.
Kritikan
selanjutnya adanya ketidakkuasaan terhadap hukum peradilan. Dalam mata hukum, si Jaksa
memberikan hak kemenangan maupun pendapat kepada siapa saja yang berani
memasang harga jual tinggi pada dirinya. Akibatnya mereka yang kecil, uang
pas-pasan, serba kurang menjadi sasaran objek untuk menutupi dan menghapusjejak
kebusukan pemerintahnya. Hukum keadilan seolah menjadi seberapa banyak harga
nilai uang yang dimiliki. Hukum benar dan salah pun sudah tak bernilai di mata
hukum. Hal ini sering terjadi pada realita kehidupan masyarakat dimana hukuman
bisa dibeli oleh orang yang berduit, seperti pada contoh kasus Gayus Tambunan
pada tahun 2011
Kemudian dalam
kumpulan cerpen tersebut, Pengarang mengkritik mengenai kehidupan seorang
pemangku jabatan atau pun pemerintah yang selalu ditemani dengan dunia sisi
glamour dan mewah. Hal ini terjadi karena mereka terkadang menggunakan sebagian
uang rakyat untuk dikonsumtif sendiri. Seharusnya yang namanya pemerintah ialah
seorang pelayan rakyat, yang mau memberi pelayanan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Seperti cerita pada cerpen yang berjudul Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue.
Serta pada cerpen “Jangan ke Istana, Anakku”, Pengarang
mengkritik secara sinis terhadap para kuasa yang semena-mena dengan rakyatnya.
Mereka mengambil dan melanggar HAM rakyatnya. Seolah-olah rakyatnya harus hidup
dan tunduk patuh pada penguasanya. Seharusnya hak untuk hidup serta hak untuk
merasa aman dan nyaman bisa didapatkan pada setiap rakyatnya. Contohnya seperti
pada kutipan berikut:
Masa
kecilku yang indah terlalu segar dalam kepala. Kuingin putriku pun bisa
menikmatinya. Tapi istana telah merampas sebelum hidupku jadi paripurna. Akulah
sang prajurit muda. Masuk ke lingkaran istana untuk menjadi penjaga dan
mengamankan tahta. Tak ada yang mampu menolak, sebab istana merasa punya hak
untuk mempekerjakan siapa saja yang dikehendakinya. Penolakan adalah pembangkangan
luar biasa dan dinilai anti istana. Nyawa menjadi taruhannya.
Kritikan ini
menunjukkan kondisi kekuasaan seorang raja yang tidak memberikan rasa aman dan
nyaman terhadap rakyatnya. Kenyataan yang terjadi ialah segala hak dan aturan
dibuat oleh pemerintah seperti undang-undang. Namun banyak dari mereka juga
yang melanggar aturan yang dibuatnya sendiri.
Jadi, kesamaan
kumpulan cerpen karya M Shoim Anwar yang berjudul: Jangan ke Istana, Anakku
(2015); Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue (2015); Sepatu Jinjit
Aryanti (2017); Tahi Lalat (2017); Sorot Mata Syaila (2018); ialah adanya
kecurangan dan penyelewengan kekuasaan. Selain itu, dalam kumpulan cerpen
tersebut penulis juga menghadirkan sosok perempuan. Citra perempuan dalam masing-masing
cerita tersebut digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tertindas tidak
berdaya. Seperti pada cerita Sorot Mata Syaila digambarkan sebagai
wanita yang berjubah hitam menutup secara sempurna. Syaila seorang yang
menggiring Matalir ke tempat sosok istri dan anak-anaknya yang digantung karena
kesalahan Matalir. Kemudian pada cerita Sepatu Jinjit Aryanti digambarkan
wanita Aryanti sebagai sosok yang tidak berdaya digiring kesana kemari mencari
tempat berlindung dari kejaran orang. Cerpen yang berjudul Bamby dan
Perempuan Berselendang Baby Blue digambarkan seorang wanita yang bernama
Miske tidak berdaya menjadi barang tawaran dirinya kepada Bambi atas kemenangan
kasus ayahnya bernama pak Madali dengan Anik. Miske digambarkan sebagai wanita hadiah
dari almarhum pak Madali yang penurut dan menjadi pemuas nafsu Bambi. Cerpen Tahi
Lalat digambarkan seorang wanita istri pak Lurah yang dibicarakan bagian
tubuhnya. Halini menunjukkan bahwa tanda di tubuh wanita sangatlah menarik
untuk dibicarakan daripada kesalahan nyata seorang suami. Bagian tubuh wanita
seolah tidak menjadi tabu untuk dibicarakan di depan umum dan bahan khalayak
ramai. Cerpen yang berjudul Jangan ke Istana, Anakku digambarkan seorang
istri yang tidak berdaya menerima tawaran Raja untuk menjadi penari istananya setelah
itu akan menjadi tumbal. Citra perempuan pada cerpen ini menjadi seorang yang tak berdaya akan
kekuasaan dari penguasa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah,
pemuas nafsu, dan hanya untuk hiburan semata.
Kemudian dari
persamaan kumpulan cerpen tersebut bisa ditarik garis benang bahwa pengarang lebih
cenderung pada permasalahan sosial dan politik pada masyarakat. Dari beberapa
kumpulan cerpen tersebut di akhir cerita ada yang sulit untuk dipahami dan
selesai dengan menggantung. Hal ini terlihat pada cerpen Sorot Mata Syaila. Pada
cerita tersebut Syaila digambarkan sebagai seorang wanita berjubah hitam dengan
menutupi aurat secara sempurna. Saat di awal cerita Syaila ini sosok yang nyata
dan berwujud kemudian pada akhir penghujung cerita Syaila digambarkan sebagai
sosok yang misterius dan hilang tanpa jejak. Sorot Mata Syaila hilang dan
lenyap dan berganti pada penglihatan sosok istri dan anak-anaknya yang
digantung.
Dari kumpulan
cerpen tersebut terdapat persamaan dan perbedaan baik dari segi isi maupun
maknanya. Banyak pesan yang terkandung, karena pada dasarnya karya sastra
adalah cerminan dari kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://news.detik.com/berita/d-1542486/kasus-gayus-simbol-hukum-bisa-dibeli-orang-berduit
detikNews, diunduh pada 7/07/2021
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42007942
BBC NEWS INDONESIA, diunduh pada 6/07/2021
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/08/bambi-dan-perempuan-berselendang-baby.html
diunduh pada 6/07/2021
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/02/jangan-ke-istana-anakku.html
, diuduh pada 6/07/2021
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2018/01/sorot-mata-syaila_15.html
, diunduh pada 6/07/2021
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2017/02/tahi-lala.html
, diunduh pada 6/07/2021
Komentar
Posting Komentar