Kritik dan Esai pada Puisi “Idul Fitri” Karya Sutadji Calzoum Bachri


Sutardji Calzoum Bahri merupakan salah satu penyair sufi Indonesia yang terkenal. Ia juga seorang cerpenis, maupun pujangga syair puisi. Ia merupakan sastrawan pelopor puisi kontemporer. Karya puisi Sutardji Calzoum Bachri ini diantaranya seperti: O (1973), Amuk (1977), Kapak (1979), dan masih banyak lagi. Salah satunya adalah puisi Idul Fitri yang diciptakan pada tahun 1987.

Idul Fitri

                      Puisi  Sutadji Calzoum Bachri

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

 

                Pada puisi “Idul Fitri” ini merupakan bentuk puisi kontemporer. Puisi kotemporer adalah bentuk puisi yang berusaha keluar dari aturan-aturan konvensional puisi itu sendiri. Maksudnya ingin terlepas dari aturan penulisan puisi, seperti: kata, baris, bait, dan makna. Dalam puisi kontemporer juga membebaskan kata dari makna namun susunan kata yang terangkai hakikatnya akan memiliki makna juga. Hal yang paling menonjol terletak pada bentuk tipografi dan ekspresifnya. Bentuk tipografi yang digunakan ialah menggunakan huruf besar-kecil dan tanda baca lengkap. Sedangkan bentuk ekspresifnya ialah arti dari puisi ini lebih ke arah curahan hati penyair yang ingin kembali pada Tuhannya, kembali pada jalan yang lurus. Umumnya makna Idul Fitri ialah kembali kepada fitrah atau suci. Hal ini seperti yang disyairkan oleh pengarang pada puisinya yang berjudul “Idul Fitri”.  Berikut ini sajak puisinya.

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

                Seperti pada baris pertama, kedua, dan baris ketiga pengarang mengatakan bahwa ketika sedang menjalankan puasa di bulan Ramadhan, pintu tobat sedang digencarkan dan dirutinkan untuk menghapus hati yang telah hitam dan beku seperti batu. Akibat dosa-dosa di masa lampau yang lalai dan sia-sia. Pengarang juga menyebutkan kebiasaan manusia selain berpuasa ketika bulan Ramadhan ialah menegakkan shalat malam, berdzikir mengingat Tuhannya setiap siang dan malam.

            Selain itu Pengarang juga mensyairkan telah menghamparkan sajadah, makna ini bisa berarti Sujud. Sujud merupakan bentuk titik tertinggi seorang hamba berkomunikasi lebih dekat dengan Tuhannya. Seorang hamba yang merendah dan menempatkan kening kepalanya pada tanah untuk ikhlas dalam mencapai hati dan darah ini yang dimaksud ialah dalam keadaan dhahir dan lahir. Hal ini dimaksudkan dalam peribadahan kepada Tuhannya ingin menunggu pada setiap malam-malamnya untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Itulah tadi bentuk-bentuk dalam menyempurnakan dan menyucikan jiwanya yang lalai dan sia-sia.

            Pengarang menonjolkan pada perjalanan spiritualnya ketika saat ia suka mabuk-mabukan, suka dengan kehidupan dunia yang membuat hatinya menjadi gelap dan hitam. Sehingga ia merasakan umurnya digunakan untuk hal yang sia-sia dan lalai akan kewajibannya pada Tuhan. Ketika si Pengarang menyadari dengan kelalaiannya, ia segera bertobat. Ia melakukan sholat siang dan malam, berdzikir, dan kebajikan-kebajikan lainnya.  Bulan Ramadhan sangat dirindukannya untuk mendapat malam Lailatul Qadar, dia mengisi waktunya untuk mengejar pahala, dan berdoa agar tidak dimasukkan ke dalam golongan orang yang lalai seperti dirinya dahulu. Seperti pada sajak berikut ini:

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

                Harapan Pengarang agar tidak dikembalikan seperti dirinya dahulu yang hidup dengan kesenangan duniawi. Kemudian di akhir bait, Pengarang mengungkapkan kegembiraannya bertemu dengan hari raya Idul Fitri setelah menjalankan ibadah dengan penuh di bulan Ramadhan. Seperti pada sajak berikut ini:

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

                Kata “kurayakan kelahiran kembali” menunjukkan bahwa Pengarang seperti hidup kembali dalam keadaan suci seperti bayi yang belum berdosa. Pengaranng menyebutkan betapa senangnya bertemu dengan Idul Fitri dan Pengarang tetap berdoa mengharap ampunan dari Tuhannya di hari Kemenangan kembali ke fitrah suci ini.

            Selain pada makna ekspresif puisi ini, gaya bahasa yang digunakan dalam pemilihan diksinya ialah majas Repetisi, gaya bahasa yang digunakan dengan mengulang-ulang kembali kata yang digunakan, fungsinya untuk menyampaikan makna kembali. Pada puisi tersebut terdapat pada baris keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Seperti pada kutipan sajak berikut ini:

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

            Pada kutipan di atas, pengulangan kata yang digunakan adalah kata “telah”. Kemudian pengulang kata terjadi kembali pada baris ke tujuh belas dan delapan belas. Berikut ini kutipan sajaknya.

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Kata yang digunakan dalam pengulangan diksinya ini ialah “takkan”.

Komentar