Kritik dan Esai Kumpulan Puisi Mashuri: "Hantu Kolam", "Hantu Musim", "Hantu Dermaga". Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1987. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga.
Puisi Mashuri yang berjudul Hantu Kolam
Pada
puisi tersebut bentuk penggunaan tipografinya ialah huruf kecil pada awal
kalimat dengan tanda baca. Pengarang juga masih menggunakan persamaan bunyi
atau rima, jumlah kata dan penyusunan kata meskipun baris dan baitnya tidak
sama. Seperti kutipan pada sajak “Hantu Kolam” berikut ini.
di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang
mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama
segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…
“plung!”
aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak
Pada
kutipan tersebut terlihat jelas bahwa pengarang puisi tersebut sangat
memperhatikan bentuk rimanya. Penekanan pada bunyi rimanya terjadi pada bunyi akhir
barisnya yang berpola seperti baris kedua, ketiga, dan keempat berima –ang,
kemudian dilanjut baris kelima dengan baris ketujuh berima –ap, setiap
berganti dua baris pola rimanya berganti bunyi. Hal ini menunjukkan pengarang
memerhatikan bentuk rimanya.
Judul
pada puisi ini adalah “Hantu Kolam” yang diciptakan di kota Banyuwangi.
Filosofi puisi yang berjudul Hantu Kolam bisa dilihat dari kutipan sajak
baris kedua yaitu “digigir kolam / serupa serdadu lari dari perang /
tampangku membayang rumpang” artinya
bahwa dipunggung kolam tempat kejadian puisi tersebut pengarang memerumpamakan
prajurit yang lari dari perang dengan wajah yang rumpang bersela-sela. Karena
memerumpamakan atau mengkhayal dalam benak pikiran pengarang saja maka
diibaratkan seperti hantu yang lari menjerit ketakutan. Kemudian pada bait
kedua, berikut kutipan sajaknya.
mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama
Bait
kedua ini menceritakan bahwa si Pengarang menyelami imajinasinya dengan tatapan
mata kosong bersama ikan-ikan, pikirannya terperangkap di dasar karang. Antara
hitam dan gelap ini dimaksudkan seperti sedang berada di jalan yang tersesat
dan kelam. Tidak ada cahaya ataupun petunjuk yang membangkitkan semangat hidupnya
kembali dari jalan lama yang membuatnya merasa keputusasaan dan tersesat.
Pengarang mengalami keputusasaan dalam semangat hidup. Hal ini diperkuat rasa
keputusasaannya pada bait ketiga, berikut kutipan sajaknya.
segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…
Orang
yang sedang berputus asa dan tidak memilki semangat dalam hidupnya, ia akan
merasakan bahwa kehidupan dunia ini akan terasa hambar dan dingin bagaikan
musim yang ditinggalkan matahari tidak ada panas yang menyinarinya. Si
Pengarang merasakan berada di tempat yang gelap seperti terkubur di bawah
timbunan cahaya rembulan. Ia merasakan berada pada sunyi kesendirian.
Tatapan
dan khayalan kosong tersebut kemudian terhenti karena pengarang mendengar suara
dari arah kolam yang ia pandang. Suara batu yang memecahkan tatapan kosongnya.
Ia menganggap bahwa kolam tersebut bagaikan kolam yang tak beriak, artinya
kolam tersebut tak mempunyai air gelombang karena pengarang hanya melihat
wajahnya sendiri di pantulan air kolam tersebut dengan penuh acak-acakan.
Dari
analisis puisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa alasan pengarang memberi
judul puisi tersebut “Hantu Kolam” karena pengarang berada dalam keadaan yang
dimana dari lamunan pikirannya sendiri yang kosong, gelap, hampa, dan tak
bernyawa inilah dianggap seperti hantu dalam kolam.
Puisi Mashuri yang berjudul "Hantu Musim"
Selain
itu, Mashuri juga membuat puisi mengenai hantu yang berjudul “Hantu Musim” di
kota Magelang. Berikut kutipan sajak puisinya.
aku hanya
musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa
bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh
di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…
Magelang, 2012
Pengarang
pada puisi ini menganggap bahwa dirinya bagaikan musim (waktu) yang dikirim
karena runtuh, jatuh dan terbaring dari kenangan. Ibaratkan sebuah pohon yang
daun dan buahnya berjatuhan oleh kenangan kemudian dipunggut oleh pengarang, daun
dan buah yang berjatuhan ini termasuk dalam musim gugur. Musim gugur adalah
musim pada masa peralihan dari musim panas ke musim dingin sehingga
daun-dedaunan mulai gugur dan menjatuhkan dari pohonnya.
Pada
musim gugur ini pengarang mengingat kenangannya ketika pertemuan pertama dengan
cintanya. Pengarang menjadi pujangga yang senang mensyairkan kalimat-kalimat
indah ketika jatuh cinta. Pengarang mengibaratkan ketika menjadi musim. Ketika
musim gugur, pengarang akan memunggut daun kenangan pertemuan pertamanya denga
kekasih saat menyusuri kembali peta. Ketika musim hujan, hasrat pengarang bergetar
karena sedang bercumbu dengan kekasih sehingga ia mampu mengenal dan berpikir
positif kembali. Begitulah pengarang tersebut ketika sedang jatuh cinta, ia
akan dipenuhi dengan kebahagiaan walaupun bayangannya masih sayu atau belum
jelas status hubungannya. Namun ketika diingatkan kembali perihal masa dimana
dia jatuh cinta maka dia akan bercerita dengan senangnya sehingga puisi ini
tepat jika diberi judul “Hantu Musim” karena perasaan cinta pada pujangga
sehingga bayangannya mengulang-ulang kembali pada macam-macam musim.
Puisi Mashuri yang berjudul "Hantu Dermaga"
Puisi ketiga Mashuri mengenai hantu ialah Hantu
Dermaga. Puisi ini diciptakan di kota Sidoarjo. Berikut kutipan sajak
puisinya
mimpi,
puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal
tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali
Sidoarjo,
2012
Pada puisi yang berjudul “Hantu
Dermaga” ini bahasa yang digunakan sulit dipahami, sehingga perlu dibaca
berkali-kali agar bisa mengetahui apa yang disampaikan oleh pengarang. Walaupun
begitu pengarang sangat pandai dalam memainkan bahasa diksinya sehingga membuat
pembaca memecahkan makna arti puisi tersebut. Bahasa yang digunakan menggunakan
perumpamaan-perumpamaan seperti “bak hujan yang kembali”.
Puisi ini
bercerita mengenai warta mimpi, puisi, maupun dongeng yang lahir dari seseorang
tak terwujud harapannya. Impiannya selalu dipanjatkan dan diharapkan namun ia
hanya sampai pada permintaan saja tidak diwujudkan dan tidak berusaha. Seperti
pada kutipan sajak berikut ini.
mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan
kekal
tertambat di terminal awal
Dari
kutipan “kisah itu tak sekadar mantram / dalihmu tuk sekadar bersandar bukan
gerak lingkar” ini mengungkapkan
bahwa mimpinya hanya sekadar ucapan saja tidak diusahakan sehingga ”ia
seperti pendulum / yang dikulum cenayang dermaga” impian itu menjadi seperti seutas tali yang
panjang dan dikulum (ditahan) oleh cenayang (dukun) dermaga. Impian itu hanya
menjadi setitik harapan kosong saja sehingga tanpa sadar “dari hujan yang
terhenti” maksudnya adalah kehidupan
telah berhenti (mati).
Harapan
yang hanya impian tanpa diperjuangkan akan menjadi terpenggal dan terhambat
melayang di dunia. Sehingga pengarang menghibur dengan mengatakan kelahiran
yang kedua setelah mati (reinkarnasi). Agar harapan itu diperjuangkan kembali,
namun waktu tidak bisa diputar kembali. Kehidupannya hanya sebuah angan-angan
saja.
Puisi pengarang
yang bernama Mashuri ini berjudul “Hantu Kolam”, “Hantu Musim”, “Hantu Dermaga”
ini menjelaskan tentang impian dan harapan manusia. “Hantu Kolam” mengenai kekosongan
impian dan harapan manusia dalam keadaan keputusasaan dalam hidupnya. Kedua “Hantu
Musim” ketika harapan dan impiannya sedang jatuh cinta sehingga hatinya
dipenuhi warna berbagai jenis musim. Ketiga “Hantu Dermaga” mengenai impian dan
harapan manusia ketika tidak diperjuangkan dengan usaha hanya berangan saja.
Komentar
Posting Komentar