“Sulastri
dan Empat Lelaki”
Oleh:
M. Shoim Anwar
Sastra merupakan penggambaran
kehidupan manusia dengan permasalahannya yang luas dan kompleks. Umumnya sastra
ini lahir karena adanya sesuatu hal yang menjadikan jiwa pengarang mempunyai
rasa tertentu pada suatu persoalan yang ada di kehidupan masyarakat. Persoalan
itu memengaruhi bentuk kejiwaan batin dan ekspresi seseorang sehingga ekspresi
yang dirasakan dari pengarang tersebut diwujudkan melalui karya sastranya. Oleh
karena itu dibutuhkannya kritik sosial sastra untuk mengkaji, menafsirkan, dan
memberikan penilaian terhadap teks sastra tersebut.
Kritik sosial adalah salah satu cara
untuk mengungkapkan aspirasi dalam bentuk perbuatan, sikap, maupun kata-kata
dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi yang timpang di masyarakat. Peneliti
berusaha melihat kritik yang diungkap penulis melalui tokoh-tokoh dalam cerpen “Sulastri
dan Empat Lelaki.
Cerpen karya M. Shoim Anwar yang
berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” menceritakan seorang perempuan yang
bernama Sulastri, dia bersama keluarganya berada di laut Tanah Merah, Mesir
perbatasan dengan Yaman dan Yordania. Saat itu Sulastri sedang keputusasaan,
tatapannya hening hampa di bibir laut Tanah Merah. Ia berdiri di atas tanggul
air laut kemudian saat berjalan mengikuti alur tanggul ia diberhentikan oleh
teguran polisi untuk turun dari tanggul itu. Namun, Sulastri tidak mau sehingga
ia harus berkejaran dengan Polisi.
Sulastri ketika melihat bibir laut di
lautan Tanah Merah, ia menjadi teringat kampung halamannya di tepi Bengawan
Solo, dari desa Tegal Rejo seberang sungai ke arah desa Titik, ada kuburan yang
dirimbuni pepohonan besar yang di sananya terdapat orang laki-laki yang sedang
bertapa yaitu Markam suami Sulastri. Markam ini suka bertapa di bawah pohon besar
yang rimbun untuk mendapatkan keris atau benda-benda pusaka lainnya. Karena
seringnya bertapa, Markam membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun
mempertahankan nyawa, maksudnya adalah kerja keras bertahan dengan hasil pendapatnya
Markam yang tidak seberapa. Sulastri selalu bertanya kepada suaminya untuk bekerja
dan tidak usah bertapa terus menerus. Sulastri mengatakan kepada suaminya bahwa
suaminya itu bukan Siddharta, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang
pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya yang aman karena ditinggalkan
harta yang berlimpah. Namun Sulastri dan anaknya berada di posisi kemelaratan
tanpa harta yang berlimpah.
Setelah bayangan suaminya
menghablur, Sulastri dihadapkan kembali dengan hamparan laut Tanah Merah. Ketika
gelombang tiba-tiba datang, muncullah Fir’aun naik ke permukaan. Fir’aun dengan
tubuh gempal dan otot tubuh yang kekar berdiri di atas tanggul. Sulastri
bergetar dan tergesa mencari pertolongan orang lain kemudian Fir’aun mengatakan
bahwa Sulastri adalah budaknya, namun Sulastri tidak mau. Fir’aun mengejar Sulastri
sampai tersudutkan kemudian datanglah nabi Musa. Kemudian terjadilah
perbincangan antara Sulastri dan Nabi Musa mengenai bentuk ketidakadilannya
Sulastri. Sulastri menganggap bahwa ia merasa terdholimi oleh sikap suaminya
sendiri, seorang penyembah berhala.
Sulastri terus berlari dari kejaran
Fir’aun dan ia tidak bisa meminta pertolongan kepada polisi maupun orang lain. Ketika
Sulastri sudah terdesak dari kejaran Fir’aun, kemudian lelaki yang tadi
dipanggil Musa tiba-tiba muncul kembali di hadapannya. Sulastri memukulkan
tongkat ke tubuh Fir’an kemudian tubuhnya terpecah berkeping-keping di pasir.
Dari dalam laut Sulastri melihat ular besar menjulur dan menyedot
kepingan-kepingan tubuh Fir’aun ke dalam laut makin jauh dan jauh perginya.
Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Ia bertanya pada dirinya
sendiri apakah hanya sebuah mimpi atau tidak.
Pada cerpen tersebut yang berjudul “Sulastri
dan Empat Lelaki” ini yang menjadi tokoh empat lelaki ada polisi, Markam
suaminya Sulastri, Fir’aun, dan Nabi Musa. Kritik yang dilakukan pada cerpen
tersebut adalah adanya masalah sosial dan ketidakadilan gender pada tokoh
Sulastri. Masalah sosial adalah problem yang terkait dengan gejala-gejala yang
tidak seharusnya terjadi di masyarakat (dalam Soekanto, 2010:310).
Hal ini terjadi pada tokoh Sulastri
yang sedang bercakap dengan Musa mengenai ketidakadilannya yang dianggap
sebagai budaknya Fir’aun. Saat itu suami Sulastri yang bernama Markam ini
menyembah berhala seperti mengharapkan datangnya benda-benda pusaka sehingga
memercayai adanya kekuatan lain. Ideologi kepercayaan Markam ini dianggap
menyimpang karena memercayai adanya kekuatan ghaib lainnya seperti benda-benda
pusaka.
Pekerjaan suami Sulastri ini hanya
bertapa saja sehingga Sulastri ini merasa ditelantarkan oleh suaminya dan hanya
bisa pasrah serta sabar menunggu rejeki dari suaminya yang sebagai pertapa.
Ketika Markam mendapatkan rejeki dari bertapa, rejeki tersebut dipergunakan
oleh keluarganya sehingga Sulastri dan anaknya tercampur makan rejeki yang
haram dari sang suami. Oleh karena itu Sulastri dianggap sebagai budaknya Fir’aun
juga. Pada sudut pandang lain, Musa mengatakan bahwa Sulastri hanya bergantung
pada suaminya saja walaupun ia sudah tau kalau pekerjaan suaminya haram.
Dari pernyataan Musa ini bisa
dibuktikan bahwa dalam cerita tersebut terjadi ketidaksetaraan gender. Sulastri
menganggap bahwa ia ditelantarkan oleh suaminya. Berikut ini kutipannya.
Sulastri
: “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
Musa
: “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa
kau bergantung padanya?”
Sulastri
: “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
Dari percakapan antara Sulastri dan
Musa menjadi pertanda bahwa Sulastri masih memarginalkan dirinya sendiri,
Sulastri masih menganggap bahwa dirinya sebagai seorang perempuan hanya bisa
diarahkan untuk menjadi pengurus rumah tangga saja. Penulis menyinggung bahwa
era order reformasi sekarang perempuan diharuskan bisa mandiri, tidak
bergantung pada laki-laki, bisa berpendidikan tinggi, bisa mengubah nasibnya
sendiri, serta bisa melakukan kegiatan seperti kegiatan laki-laki atau yang
disebut dengan kesetaraan gender.
Selain membahas mengenai kesetaraan
gender antara laki-laki dan perempuan, penulis juga menyinggung perihal pemerintahan
dan politik dalam negeri. Penulis menyinggung sistem pemerintahan di Indonesia bahwa
Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya yang banyak
ditumbuhi tanaman, pepohon-pohonan daripada negara timur yang kering dan tandus
sehingga jarang tumbuh tanaman. Di lain sisi Indonesia akan kaya sumber dayanya
namun masih belum bisa memberdayakannya dengan baik dan maksimal. Kemudian
pemerintahnya juga kurang menjalankan tugas dengan baik, seperti pada kutipan
berikut ini.
Sulastri : “Negeri
kami miskin, Ya Musa.”
Musa
: “Kekayaan negerimu melimpah ruah.
Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
Sulastri
: “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
Musa
: “Apa bukan kalian yang malas
hingga suka jalan pintas?”
Sulastri
: “Kami menderita, Ya Musa.”
Musa
: “Para pemimpin negerimu serakah.”
Sulastri
: “Kami tak kebagian, Ya Musa”
Musa
: “Mereka telah menjarah kekayaan negeri
untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
Sulastri
: “Kami tak memeroleh keadilan, Ya Musa.”
Dari kutipan percakapan tersebut
bisa dibuktikan bahwa ekonomi di Indonesia masih belum stabil, karena sistem
pemerintahan di negara Indonesia suka menjarah atau merebut hak milik orang
lain misalkan seperti kejadian awal munculnya Covid-19 di Indonesia, banyak
orang yang membutuhkan masker kemudian tiba-tiba harga masker sangat mahal sehingga
ada yang mengambil kesempatan di atas musibah tersebut. Kemudian selain itu
pemerintah mengimport beras dari luar negeri padahal beras di dalam negeri
masih bagus dan banyak melimpah. Hal kecil seperti ini seharusnya pemerintah
menjadi contoh masyarakatnya untuk membeli dan mencintai produk dalam negeri.
Tindakan pemerintah tersebut menjadikan masyarakat merasa tidak memeroleh
keadilan. Selain itu pemerintah juga menjarah kekayaan negeri seperti menjual
aset bangsa atau pulau Indonesia kepada para cukong ataupun pemilik modal besar
lainnya sehingga dampak dari perbuatan itu ialah masyarakatnya yang kecil terkena
imbasnya dari ulah pemerintah sendiri. Esensinya pemerintah ialah yang menjadi
pelindung masyarakat, penyalur aspirasi masyarakat ternyata pemerintah berlaku
sebaliknya kepada masyarakat. Hal ini yang menjadikan Sulastri pergi ke Mesir
untuk mencari rejeki di negara lain, karena di negaranya sendiri ia merasa
tidak beruntung memeroleh keadilan.
Kemudian Penulis menjelaskan
mengenai keadaan politik di negaranya yaitu Indonesia. Negara Indonesia yang
mengaku bahwa ia adalah negara yang demokrasi ternyata telah dikotori bentuk
wujudnya oleh sebagian orang khususnya bakal calon pemerintah, seperti pada
kutipan berikut.
Sulastri : “Kami
tak memeroleh keadilan, Ya Musa.”
Musa
: “Di negerimu keadilan telah
menjadi slogan.”
Sulastri
: “Tolonglah saya, Ya Musa….”
Musa
: “Para pemimpin negerimu juga tak
bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan
barang dagangan yang murah.”
Penulis menyinggung bahwa dalam keadilan
hanya berupa jargon-jargon slogan saat pemilu, pemerintah hanya berkorbar semangatnya
akan janji-janjinya ketika menjadi calon kandidat saja. Contohnya seperti dewan
perwakilan rakyat ketika melaksanakan rapat ada banyak dewan perwakilan lainnya
yang tidur, tidak hadir, seakan-akan tidak peduli dengan nasib dan kondisi
masyarakat dan negaranya.
Ketika masyarakatnya membutuhkan
pemerintah, mereka menganggap barang dagangan yang murah. Mereka lebih
mendahulukan barang mahal, pasang tarif tinggi untuk sebuah kasus keadilan.
Seperti pada kasus seorang pencuri kayu dengan koruptor uang milyaran. Orang
yang dijatuhi hukuman paling berat adalah seorang pencuri kayu daripada
koruptor uang milyaran tersebut. Keadilan negara sudah menjadi barang dagang
jual beli.
Bentuk
ketidakadilan lainnya terjadi juga pada kutipan berikut.
Dari
atas tanggul Fir’aun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari
kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih
berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
“Wa
maadzaa turiidiina aidlon?” Polisi bertanya apa lagi yang diinginkan
Sulastri.
“Tolong…
tolonglah saya….”
Polisi
menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di
bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah.
Dari kutipan ini bisa menggambarkan
ketika Sulastri membutuhkan bantuan polisi untuk meminta perlindungan,
polisinya menggeleng-geleng dan menunjuk-nunjuk ke tempat lain yang artinya
saling melempar tanggung jawab, dan enggan untuk membantu. Hakikatnya polisi
adalah pelayan yang melindungi rakyatnya dari bahaya maupun kecemasan. Hal ini
dibuktikan kembali pada kutipan berikut ini.
Sulastri tahu, polisi tak akan
menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik.
Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga
teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan
dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang,
setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang
bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar
menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu
real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya
untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke
kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan
mereka ke tanah air.
Dari kutipan tersebut menunjukkan
bahwa polisi tidak akan menangkap tanpa imbalan, hal ini menjadikan bentuk
perlindungan negara diukur oleh materiil. Lantas ketika Sulastri memita bantuan
tanpa biaya langsung ditolak oleh poliis tersebut. Dilihat dari pancasila
bangsa Indonesia, dasar negara bangsa mengatakan pada sila kelima yang berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jika keadilan belum diterapkan
secara merata, maka perlu ditanyakan kepada pemerintah bentuk keadilan seperti
apa yang menunjukkan keadilan sesungguhnya.
Berdasarkan penjelasan mengenai isu-isu kritik
sosial yang muncul pada cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”, penulis
mengungkapkan banyak ketimpangan sosial dan isu-isu sosial lainnya seperti
masalah mengenai ideologi, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan masih banyak lagi
yang terjadi di kehidupan masyarakat sekarang. Penulis dalam mengangkat isunya
mudah dipahami sehingga pembaca lebih bisa melek dengan keadaan lingkungan
sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar