SECANGKIR KOPI KARSA

 



Anisa Ikhlasul Ma’rifah


SECANGKIR KOPI KARSA

 

Pada secangkir kopi karsa, dapat kau temui secangkir kisah klasik pahit manismu. Bau semerbak biji kopi yang disangrai menggunakan wajan kecil berwarna hitam dengan api kecil dari pawon.Asapnya berhamburan mengelilingi sudut ruah pawon itu. Aroma biji kopi pun tercium sampai pada sudut kamarku yang berjarak 5 meter dari kamarku dengan pawon.

Sreennnggg…  Sreennnggg…  Sreennnggg…  Sreennnggg…

Suara dari bunyi biji kopi yang disangrai diatas tungku api kayu bakar. Aroma kopi itu semerbak mengepul dengan aroma khasnya kopi. Kopi dengan aromanya yang khas mengantar kan diri ini melambai ria dengan hidup, filosofi kopi yang bertuan dan bertandu.

Sebiji kopi karsa akan membawakan dirimu menggapai kemauan dan tekadmu dalam hidup. Lantunan nada saat engkau mengaduk memutar searah jarum jam dalam secangkir kopi yang berpadukan dengan gula, susu, dan latte menjadi satu filosofi kopi kehidupan dalam secangkir kopi karsa.

Expresso, teriakan sambutan dan applause dari para penonton menambah rasa kepercayaan Athea terhadap tarian yang telah ia bawakan dalam acara pembukaan budaya ludruk khas jawa timur itu di balai desa Suropati cendekiwasuto. Tarian yang dibawah oleh Athea itu ialah tarian yang diajarkan langsung oleh kakek setiap malam jumat kliwon tepat pukul 7  malam dibawah  pohon rindang bersama purnama dan bintang yang menghiasi langit pada saat itu.

Kedua kaki sigeg, posisi sigeg dengan irama gamelan itu pun mulai memanas dengan teriakan dari penonton yang dibuat terkesan oleh gerakan dari athea. Gerakan seblak yang begitu sempurna dan menawan mengundang suitan dan applause dari penonton yang terkagum-kagum dengan gerakan seblek , gerakan favorit dari tarian itu.

Dalam balutan busana yang lengkap, ikat merah yang terikat di kepala dengan gagahnya, baju tanpa kancing berwarna hitam dengan celana gantung mencapai betis, dua selendang yang berwarna merah diletakkan di pinggang serta di bahu, juga kencring lonceng di pergelangan kaki kanannya. Ini adalah busana tari remo yang sangat disukai oleh Athea semenjak ia masih duduk dibangku sekolah SMP dan tepat setelah 6 tahun  ia bisa mencapai apa yang telah diimpikan saat masa sekolah tersebut.

Expresso, athea senang sekali setelah ia menarikan budaya Indonesia yang ia sukai itu. Sambil meneguk kopi secara nikmat dengan memandang bintang-bintang yang semakin malam seperti berlian kilauan emas yang memampang menghiasi langit. Secangkir kopi karsa menjawab persoalan yang telah mengusik pikiran Athea beberapa detik yang lalu. Nikmat nan santai merasuki tubuh athea untuk tidak memikirkan apa yang telah menjadi persoalan masalah cinta antara Athea dengan Ardhan.

Persoalan cinta emang tidak akan ada habisnya. Melupakan sejenak dan merasakan kehangatan dan kelezatan secangkir kopi karsa yang berfilosof memaknai hidup. Setelah letih dan lelahnya Athea menari diatas panggung semua beban hidupnya ia singkirkan dan Athea merasa lebih santai saat setelah meminum secangkir kopi karsa expresso

*****

Hubungan antara Athea dengan Ardhan selalu pasang surut bagaikan ombak dilautan yang sedang menerjang sebuah batu karang. Ardhan yang begitu keras kepala dan Athea pun lebih keras kepala juga walaupun ada sisi kelembutan dalam diri Athea. Ia tetap bersih kukuh dengan pendapatnya. Yang ingin menang sendiri, tanpa ada salah satu pihak yang mengalah. Dan pada akhirnya, hubungan diantara keduanya haruslah berakhir.

Athea perempuan dengan jiwa yang tangguh, sifat yang sedikit agak tomboy mengakhiri hubungannya dengan Ardhan, laki-laki dengan kulit sawo matang, berkacamata namun begitu dewasa sikapnya. Ia harus mengakhiri hubungannya dengan Athea walaupun ia sudah terlanjur sayang dengan athea.

“Tea, kenapa loe bersihkeras sih? mari kita luruskan kesalah pahaman kita!” pinta Ardhan.

“Enyahlah  loe, gue udah muak sama loe!” bentak Athea.

Karna hanya masalah-masalah sepele seperti itulah hubungan mereka selalu naik turun-naik turun. Itulah dinamika masalah manusia di dunia.

****

Exspresso, ditampakkan panorama senja yang begitu manis, warna jingga yang mendominan panorama senja. Bayang-bayang siluet bergabung bersama keindahan panorama senja. Athea mengoreskan tinta penanya dalam secarik kertas.

Senja, panoramamu indah

Bayang-bayang siluet membersamaimu

Aku rindu, rindu ini semakin menggebu nggebu

Dalam secangkir kopi karsa

Jika bisa, ku ingin menyentuh siluet dalam jingga

Ada kenyataan namun semu tuk digapai.

lewat karsa dan aksara

ku torehkan tinta pena ku tuk mewakili rasa rinduku

kepadamu, hai senja.

Terkejar-kejar dalam pengharapan yang semu sembab

Tak bernyawa namun pahit bila disentuh

Senja, bagaimana kabarmu disana?

Semoga engkau baik dan bahagia disana

Bersama ufuk kejora yang kau pilih

Menghapus aksara klasik yang pernah tersinggah

Aku jingga yang telah pupus bersama panorama ini

tenggelam dalam lautan ufuk merah yang memadam.

Tak terasa air mata Athea membasahi area wajahnya, matanya sembab sampai tak bisa mengeluarkan bulir air mata lagi. Ia pun menatap senja dalam ufuk kejora yang telah terbenam. Lantas ia kembali pulang membawa jejak kisah klasiknya bersama secangkir kopi karsa tadi.

****

Filosofi hidup yang saling berkaitan dengan kopi, yang mengubah gaya hidup ardhan. Pemuda dengan usia 25 tahun, yang sedikit memiliki pemikiran yang berbeda dengan teman sejawatnya itu.

“Hei bung, malam ini begitu dingin suasana ini. Maukah kamu buatkan aku secangkir kopi. aku ingin …” pinta Ardhan.

“Kau ingin apa? umurmu sudah menginjak 25 tahun bung bahkan lebih. kau tak tertarik dengan sedikit wanita kah?” kata reihan yang memotong pembicaraan ardhan dengan mbok jah si penjaga warung pojok di kota kami.

“Jangan-jangan kau gay ya bro? ih gue takut ah sama loe bro?” kata mamat pemuda dengan gaya gaul celetuknya yang terkadang nyinyir itu.

Semua orang yang disitu pun tertawa bersama-sama, menikmati kopi yang telah disodorkan kepada kami sejak beberapa menit yang lalu. Bersamaan kopi dengan sakcepet rokok modal kami yang menemani malam ini dengan penuh filosofi hidup kampung Suropati cendekiwasuto.

“Hei ndukk, sampe kapan kowe terus membujang? umur udah mateng toh? tunggu apalgi kowe nduk? kasian toh Anthea nunggu kowe ngelamarnya.” kata mbok jah yang sedikit jengkel dengan jalan pikiran Ardhan.

“Gini mbok, ardhan masih malu tuh sama orang tua Anthea kalo mau ngajak nikah anaknya. kan mbok jah tau sendiri toh kalo Anthea itu anak konglomerat milyader dikampung kito kan.” kata sholeh laki-laki rantau dari padang.

“Yoi, broo kasian amat nih temen gue, haahaha” kata mamat dengan nada menggelitik.

“Maaf mbok, aku ini masih sayang sama Anthea dan dia pun juga sama, namun karena keadaan orang tua ia pun harus mengakhiri hubungan kita. Zaman sekarang, kalo belum mapan, orang tua bakal ngelarang kita untuk nikahin anaknya dia toh!” kata ardhan dengan menghela nafas yang panjang.

“Lah ngeh toh mbokk, zaman saiki semua e harus berduit, orang lemah maupun orang bodoh pun yaa biso apo mbok?” ucap sholeh yang mencoba memberi pengertian ke mbok jah.

“Nduk, kalian itu hidup di zaman fleksibilitas. serba internet ada, motor ada, listrik pun juga, terus sebagai pemuda kok banyak sambat e? semangat dong, yok liat semangat juang dari Ir. Soekarno” kata mbok jah.

“Adudududu, mendadak lupa mbok. hehehe” celetuk mamat kepada mbok jah.

“Huussssshhh, loe ngawur broo!” reihan dan ardhan tertawa melihat mamat.

Adukan kopi dalam cangkir itu mencairkan suasana yang semakin hangat bersama mbok jah dan kawan-kawan. Malam pun semakin gelap bersama secangkir kopi karsa sampai seseduhan terakhir tanpa bersisa dari cangkirnya.  Aku menikmati secangkir kopi karsa sampai tegukan terakhir itu melewati kerongkonganku dengan filosofinya.

Komentar