Puisi Balada - Aku Ingin Makan Daging

‘Blup… Blup… Blup…

Suara air dalam panci

Yang mendidih

Asap mengepul

Memenuhi sudut dapur pagi ini

 

Aku bersama Ibu pergi mencari ranting

Yang jatuh, sementara Ayah

Tatkala fajar belum  menyising, ia pergi ke ladang

Untuk mencari uang setiap harinya

 

Fajar menyising dengan semangatnya

Dengan kabut mengelilingi bukit gubuk kami

Aku yang selalu makan ubi rebus

“Argghhh… ubi rebus, ubi rebus lagi”

Keluhku sepanjang fajar kepada dewa sang mahasurya

 

Setiap kali bunyi lonceng berdentum

Setiap kali suara raksasa yang menggelegar di perutku

Setiap kali perutku keroncongan

Setiap kali juga Ibu selalu

“Nak, ubi rebusnya ada di kuali ya…”

 

Kenapa harus ubi rebus lagi

Kenapa harus berjibaku dengan golongan kelas bawah

Yang mengemis terseot-seot di pinggir jalan raya

Kenapa itu terus lagi

“Bosan, tolol”

Aku ingin makan pizza

Bagai tikus rakus makan uang rakyat

Aku ingin makan daging

Bodoh, nyatanya dagingku yang teriris oleh tikus itu

Dia begitu lahapnya sampai piring pun dimakan juga

 

Seketika itu kabut turun bersama badai

Wajah tua itu meneteskan air mata

Seketika itu juga pipiku basah melihatnya

“Ibu sayang, kapan kita bisa makan daging?”

Ibu diam, lalu menyeka rembasan air di kelopak matanya

Lalu pergi, ke sudut dapur yang ada kuali

Tempat ubi-ubi itu disimpan

 

Aku menghampirinya lagi

“Ibu kenapa? Aku ingin makan daging,

Yang tak selalu ubi rebus lagi.”

Pintaku yang sedikit merengek

Sedikit memonyongkan dua bibir

 

“Tuan putri… Tuan putri yang cantik… Putri kecil Ayah”

Srikandi ayah singkirkan tikus-tikus rakus

Tikus yang berdasi

Hidung dan ekor yang panjang

Mereka gunakan untuk menjalankan aksi piciknya

 

Ada suara lelaki yang memanggilku dari arah ladang hitam sana

rupanya raja yang bertahta

dengan daun pisang melingkar di kepalanya

Dia adalah ayahku

 

Bibirku menyungging lebar dengan riangnya

Tatkala Ayah membuatkanku kolak

dari ubi rebus dengan gula santan kelapa

Seketika badai dan api itu menghilang bagai kilat barbar

 

Jam mulai berdentum keras

Kini bayangan hitam itu sudah seimbang

dengan panjang tubuh manusia

Aku menyahut suara ayah

“Baginda Raja, saya srikandi kecil datanggg” Sahutku

 

“Tuan putri… Jika ingin makan daging

Kamu harus rajin belajar dan sekolah

Rajin mengaji dan rajin bekerja

“Siap ayah Bos” tangkas ucapku


Tikus itu picik dan rakus.

Srikandi kecil, Jadilah manusia yang berbudi luhur

Laksana Pandhawa lima dalam kisah Mahabarata

 

emmm…

Apa kita akan makan ubi rebus lagi

Tanyaku sang putri kecil

“Iyadong Nak.”  suara ayah terbahak-bahak

“Arghhh ubi rebus lagi” Kesalku

 

Fajar datang dengan kicauan burung saling bersahutan

Ayah begitu lihainya memainkan suling bambu

Bak Kabayan menunggu cintanya Adinda

Ubi rebus datang lagi bersama temannya,

Kopi dan teh yang disuguhkan Ibu pagi ini

 

Ada senyum hangat dari mata ibu

Ada dekapan Ayah dan keusilannya menggodaku

Nafasku terenggap mengingat pintauanku

Aku hanya ingin makan daging

Tidak mau makan ubi rebus lagi

 

Mendadak telah ku temukan daging itu

Daging yang selalu hangat mendekap diriku

Mereka daging Keluarga kecil ku

Seketika itu mendadak

Aku makan ubi rebus dengan lahapnya

 

Ayah ketawa melihatku

Ibu menyinari semangatku

“Ibu Ayah, aku sudah punya

daging kecil, yaitu keluarga

Gigiku merekah seperti senyum pepsodent.

Dan celakalah engkau, para tikus bajingan yang picik

Terkutuklah engkau.


Surabaya, 20 Juni 2020

Komentar