Bekas Jejak Embun Di Daun Talas



 Akan kuceritakan kepadamu sebuah kisah cerita air yang ada di atas daun talas. Ini merupakan kisah yang indah tetapi kelam. Kisah ini ibarat kisah tentang membuka lembaran-lembaran lalu yang telah usang dan berdebu. Walaupun usang dan berdebu, tetap saja kulihat lembaran demi lembaran itu.

Mentari datang dengan hangat, membawa cahaya kehidupan untuk mencari rezeki di hamparan tanah yang luas tak terkira. Saat aku memulai aktivitas, aku selalu menengok sebuah tanaman yang berada di ujung luar jendelaku. Tanaman itu berada di dekat sungai kecil dengan lahan kosong kering dan semak belukar. Kupandangi sebuah daun talas dengan setetes embun pada pagi hari.

“Hai, air! Mengapa engkau selalu berada di jejak yang sama seperti embun?” kataku sendiri. Aku berbicara sendiri seperti orang yang kurang waras, batinku.

Setiap pagi kuulangi kebiasaanku kepada embun di daun talas. Terjebak di sebuah lamunan yang tak pasti, tetapi tertutup oleh sebuah kenyataan yang semu terkait sebuah pengharapan. Aku selalu mengulangi kebiasaanku setiap pagi. Ini seperti menjadi rutinitasku yang wajib kulakukan sebelum aku berangkat ke kantor.

“Hai, air! Mengapa engkau selalu berada di jejak yang sama seperti embun?” kataku lagi. Seperti biasa, aku berbicara seperti orang kurang waras, kembali aku membatin. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Pikiranku dibuat kesal olehnya dan kata-kata itu selalu kulampiaskan ke tanaman daun talas.

Mengapa engkau selalu datang di daun talas setiap pagi? Bahkan, pada setiap hujan engkau mengguyuri semua raganya. Tidakkah engkau bosan? Tidakkah engkau menyerah? Pertanyaan semacam itu selalu kuutarakan di benak hatiku.


Daun talas itu berbentuk hati, ramping, berkulit licin jika disentuh, berbatang pohon yang juga ramping, lurus, kecil, dan berongga. Embun pagi selalu mengalir di jejak yang sama saat ia melangkah. Embun pagi juga tidak tahu kenapa ia selalu datang pada waktu sedamai mutiara jika dipandang. Tetesan embun itu jatuh dari daun talas di pagi hari. Sangat indah fenomena di pagi hari ini, kataku dalam hati. Lantas, bagaimana jika embun itu jatuh dan tidak dapat lagi bertahan di atas daun talas? Ketika daun itu bergoyang tertiup angin, embun pun jatuh di ujung daun pengharapan dan tak dapat bertahan sampai bertemu dengan senja pengakhiran. Bahkan, untuk saling bertegur sapa dengan senja pun, embun tak mampu untuk melakukannya.

Raga kita dekat. Akan tetapi, jiwa kita semakin lama semakin menjauh, bahkan dihempas oleh lautan. Sejenak engkau memberikan sebuah senyuman kecil, seolah engkau memberikan secercah harapan jiwamu, yang merasuk ke relung hatiku. Mengapa aku sampai begitu menyukai dirimu? Apa istimewanya dirimu? Kenapa ada daya pikat tersendiri, seolah engkau menyeret diriku kepadamu? Ah, aku tak suka dengan kondisi seperti ini, batinku.


Mungkin kisahku ini seperti bunga mawar yang merekah di sebuah gurun pasir yang gersang, panas, dan mengais harapan dari air untuk meneduhinya dan memberikan semangat dalam hidupnya. Seperti inikah perumpamaan kehidupan cinta antara Romeo dengan Juliet? Ataukah itu hanya umpama pengharapan seseorang yang sedang dirundung asmara dan sebagai seorang budak cinta yang meratapi kegelisahannya?

Kenapa rasa ini datang berulang kali? Bahkan, beribu kali hingga berjuta kali aku terjatuh di sebuah kisah kasih yang menyakitkan. Mengapa? batinku berulang kali.

Entah kenapa, aku mengunjungi tempat ini. Ya, ini kedua kalinya aku berada di sini. Hanya duduk termenung bersama angin yang merasuki tubuhku, sampai air mataku terjatuh, menjalar ke pipiku. Tempat ini, suasana ini, mengingatkanku tentang cerita cintaku saat kumulai jatuh cinta kepadanya untuk pertama kalinya.

Khenzy—nama laki-laki itu. Dia adalah laki-laki bermata sipit dengan wajah kotak. Rambutnya ditata miring ke kanan. Khenzy juga memiliki bibir yang tipis dan tajam, ditunjang pula dengan suara yang besar dan indah. Dengan suaranya yang merdu itulah, ia pernah meraih kemenangan pada Lomba Salawat Banjari dan ia menjadi seorang qiro’ musabaqah tilawatil Quran di tempatnya. Sungguh, dialah orang yang aku dambakan selama beberapa tahun ini. Pertemuan kami berawal dari kesamaan hobi. Namun, ia lebih unggul daripada aku dalam hobi tersebut. Entah kenapa kami dapat saling mencintai. Aku pun juga tak tahu. Namun, aku tahu, tetap ada sebuah jarak yang membatasi kami. Ya, kami dibatasi oleh aturan agama. Kami sangat berusaha mematuhi Tuhan. Kami juga berjanji untuk tidak saling memiliki hingga janji suci terucap. Aku memegang erat prinsip itu, prinsip untuk tidak memiliki rasa lebih jauh kepadanya sebelum janji itu terucap. Namun, aku pun juga seorang manusia. Apa salah jika aku mempunyai rasa kepada makhluk ciptaan-Nya? batinku berbicara. Batinku tersiksa saat dia yang kukagumi dalam hati akhirnya memalingkan wajahnya dariku, hanya karena aku teguh dengan prinsipku ini.

Aku beranjak dari kasur empuk dan nyaman, untuk pergi ke tempat pekarangan yang dipenuhi semak belukar di belakang rumahku. Ada banyak daun talas juga di sana beserta embun di atasnya. Saat umurku masih berusia sembilan belas tahun, aku pergi dengan niat untuk bercerita dengan alam. Membisikkan kepada alam, bahwa aku bahagia dengan kesendirian ini. Namun, entah mengapa, tempat itu tidak terasa asing. Seperti ada pikiran yang mengingatkanku untuk membuka sebuah berkas yang telah lama kubuang. Di antara sekeliling dahan dan pohon, dapat kusadari bahwa dahan dan pohon mulai bernyanyi dengan rindang yang menyejukkan hati dan kepala. Namun, tetap saja ada sudut bagian hatiku yang terasa sesak dan penat, digentayangi oleh bayang-bayang kenanganku bersama Khenzy.

“Lihatlah embun pagi yang menempel di atas daun talas! Masih ingatkah kamu dengan filosofi ini?” kataku yang berbicara kepada alam, juga dengan diriku sendiri.

Aku mengambil batu-batu kecil di sekitarku, melemparkan mereka ke arah sungai. Beberapa batu itu aku pungut dari sampingku. Kembali kulempar mereka sejauh mungkin dari jarakku dengan sungai. Sungai memantulkan bias bayangku yang sedang kacau ini. Aku merasa tak keruan dengan kenangan bersamanya yang hadir kembali.

“Aaaggghhhhh! Aku benci dengan semua ini!” teriakku sekencang-kencangnya sambil melempar batu ke arah sungai.

Kutengok embun pagi itu lagi, ia pun melakukan hal yang sama. Menjatuhkan sebuah tetesan embun di ujung daun talas yang jatuh dan menyisakan air tetesan yang membasahi tanah subur. Bau tanah yang terkena tumpahan tetes embun itu begitu segar. Sesaat pemandangan itu mengurangi dukaku. Kupandangi mentari yang terbit dari arah timur. Sejenak aku menghela napas panjang dan menyeka air mataku yang telah tumpah membasahi pipiku. Kualihkan mataku ke arah kopi karsa. Saat itu aku ditemani kopi karsa. Hangat seduhannya seperti hinggap di tenggorokanku yang mulai serak akibat jeritanku itu. Sambil menikmati kopi karsa, aku duduk di sebuah kursi panjang, di dekat pohon yang rindang. Salah satu tanganku mendekap selembar daun kering yang kupungut dari bawah kursiku.

“Tuhan, terima kasih. Engkau telah menghapus dukaku, lukaku di jejak daun talas semu. Semoga daun talas yang kering ini menjadi bukti bahwa aku pernah menyukainya dengan memendamkan rasa sejauh mata memandangku,” kataku lirih. Perkataanku ini adalah bukti bahwa aku pernah berulang kali jatuh hati dengan orang yang sama, dengan raga yang sama. Lantas, kenapa aku tak dapat sekuat dahulu? Kini aku bagaikan kertas yang telah diremas-remas sampai lusuh, menjadi kusut, dan tidak sepolos lembaran putih. Hatiku rapuh, tergerus sedikit demi sedikit.

Kutitipkan rasa ini hanya pada-Mu, Tuhanku. Jika Engkau memperkenankanku, aku hanya ingin menyukai seseorang karena kepribadian yang patuh dan taat kepada-Mu, batinku lirih. 


Ah, sudahlah. Mulutku lelah dengan semua ini, kembali aku membatin. Kututup syalku dengan memutari leher. Aku berdiri, lalu meninggalkan pekarangan belakang rumah menuju kamarku karena malam akan segera datang, dan lukaku mungkin akan semakin kelam.

Di kamarku, segera kubasuh muka untuk menyegarkan mukaku yang kusam penuh dosa. Otakku dipenuhi oleh pikiran buruk tentangnya hingga aku berani berkata, “Aku sumpahi engkau!” Sungguh, aku tak tahu mengapa aku berani berkata seperti itu walaupun tak ada orang lain yang mendengarnya. Astaga, mulut dan pikiranku kotor sekali, batinku segera sadar.

    Aku tak ingin berlama-lama dengan lembaran pahit. Segera kututup lembaran-lembaran pahit yang pernah kukecap dan kutatap langit yang mulai menjingga bersama senja. Aku pun tersenyum berbinar-binar, karena mulai hari ini akan kututupi lembaran-lembaran kelam itu dan kumulai untuk menghapus bekas jejak embun yang jatuh di daun talas. Aku akan menggantinya dengan lembaran-lembaran yang baru, dengan kisah yang baru. Hari ini, Tuhan sangat baik kepadaku. Tentu aku tahu, Tuhan Mahabaik. Namun, hari ini aku sangat bersyukur. Aku mendapati seorang lelaki yang baik hatinya. Ia juga tulus mencintai kekuranganku.

    Dia adalah Rangga, orang keturunan dari Madura, dengan logat bahasa yang keras, tetapi ia tetaplah seorang lelaki yang sabar. Dirinya kurasakan taat terhadap Tuhan, bahkan melebihi seorang wanita yang dikasihinya. Awal mula Tuhan mempertemukanku dengannya itu yakni saat kami berjalan dengan diguyur hujan. Ternyata benar apa yang orang katakan, hujan memberikan kenangan indah. Aku jatuh hati kepadanya karena ketaatannya terhadap Tuhan. Berulang kali, bahkan berjuta-juta kali. Sungguh aneh tetapi manis. Hal ini membuatku sadar, bahwa setelah hujan lebat, bahkan seusai badai hadir, akan ada pelangi yang bersinar manis hingga bibir ini mampu tersenyum. Aku berharap, tidak akan lagi kutemui bekas jejak embun yang jatuh di tanah yang kering nan gersang. 

Bagiku, cukuplah embun jatuh berulang kali pada tataran sungai yang airnya mengalir dengan tenang. Kuharap embun jatuh bersama ikan-ikan kecil yang berenang untuk saling menyapa di permukaan sungai yang dipenuhi daun talas.


Surabaya, Mei 2019

Komentar